ARTSUBS 2025 di Surabaya: Ketika Kota yang Rapuh Tercermin dari Sampah

05 August, 2025

JURNAL PAPAR, SURABAYA — Pameran seni kontemporer ARTSUBS 2025 yang dibuka di Balai Pemuda Surabaya, Sabtu (2/8), menawarkan tafsir baru terhadap limbah: bukan sebagai residu tak berguna, melainkan sebagai arsip sejarah yang dibuang. Lewat tema “Material Ways”, para seniman menyeret audiens untuk menengok kembali ingatan kolektif yang tercecer, luka ekologis yang diabaikan, dan trauma sosial yang tak pernah sempat didokumentasikan secara resmi.

“Limbah bukan cuma soal lingkungan. Ia adalah metafora tentang apa saja yang pernah penting, lalu dilupakan,” kata Nirwan Dewanto, kurator ARTSUBS 2025, dalam pembukaan pameran.

Berbeda dari pameran seni konvensional, ARTSUBS 2025 memosisikan sampah sebagai narasi utama. Benda-benda terbuang seperti plastik, sisa medis, data digital yang dianonimkan, hingga reruntuhan rumah tangga, bukan hanya tampil sebagai medium karya, tetapi juga sebagai bukti keberadaan zaman yang dipinggirkan.

Satu instalasi menggunakan limbah medis pasca-pandemi COVID-19 sebagai materi utama: sarung tangan, tabung infus, masker bekas disusun dalam kekacauan yang disengaja. Instalasi ini tidak hanya menampilkan krisis kesehatan global, tetapi juga trauma psikologis dan kegagalan sistemik yang menyertainya.

Instalasi lain menampilkan miniatur kota yang dibangun dari botol plastik dan styrofoam. Dari jauh tampak indah, namun dari dekat menunjukkan keretakan dan lapuk. “Karya ini bicara tentang pembangunan yang rapuh,” ujar Almahira S., seniman dari Bandung. “Monumen ini untuk mereka yang tidak tercatat dalam sejarah.”

ARTSUBS 2025 tidak hanya mengajak penonton untuk melihat seni, tetapi juga mengalaminya secara fisik dan emosional. Pengunjung diminta menyentuh, mencium, dan bahkan berdiri di tengah karya yang menghadirkan aroma busuk dan suasana tak nyaman.

“Saya tidak pernah menyangka akan menyentuh sisa makanan dari rumah orang lain dalam konteks seni,” ujar Renny Andini, pengunjung asal Surabaya. “Tapi justru dari situ, saya merasa seolah masuk ke perut kota ini, melihat bagian yang biasanya disembunyikan.”

Bagi Nirwan Dewanto, pendekatan ini adalah bentuk perlawanan terhadap narasi sejarah yang hanya mencatat pemenang. “Negara tidak mengarsipkan trauma. Institusi tidak mencatat kegagalan. Tapi seni bisa, bahkan harus,” tegasnya.

Pameran yang berlangsung selama dua pekan ini juga menyertakan diskusi publik, pertunjukan performatif, serta pemutaran dokumenter yang membahas dampak krisis iklim, pandemi, serta pembangunan kota yang menggusur warga.

Dengan pendekatan arsip alternatif, ARTSUBS 2025 menempatkan seni sebagai instrumen dokumentasi sejarah yang tak resmi membongkar kembali apa yang disapu di bawah permadani modernitas. Dalam fragmen sampah, mereka menemukan ulang makna sejarah.


Komentar