Tradisi Lempar Bubur di Tuban, Simbol Tolak Bala dan Kebersamaan

04 July, 2025

JURNAL PAPAR, Tuban – Sore itu, langit Karangsari mulai redup. Tapi di perempatan kecil Gang TPI RT 2 RW 1, suasana justru menghangat. Warga datang satu per satu, membawa bubur dalam mangkuk-mangkuk plastik. Bukan bubur sumsum, bukan pula bubur ayam. Tapi bubur dari terigu, berwarna merah, hijau, kuning, dan biru. Terlihat mencolok, seolah tak lazim untuk disantap.

Dan memang, tak satu pun bubur itu dimaksudkan untuk dimakan. Bubur ini akan dilempar.

Inilah Barikan Suro, tradisi unik yang hidup di tengah masyarakat Karangsari Tuban setiap memasuki bulan Suro, bulan sakral dalam penanggalan Jawa. Selama lebih dari 15 tahun, prosesi ini rutin digelar sebagai simbol penolak bala dan bentuk kebersamaan antarwarga.

“Ini sudah jadi tradisi kami. Sebuah doa agar kampung dijauhkan dari malapetaka,” ujar Rokhim, Ketua RT 2 Karangsari.

Perempatan yang Jadi Titik Doa

Tradisi ini tidak dilakukan di sembarang tempat. Warga sepakat memilih perempatan sebagai lokasi utama. Bagi mereka, perempatan adalah simbol dari empat penjuru mata angin—utara, selatan, timur, barat—arah datangnya kebaikan maupun keburukan.

Karena itu, titik tengah inilah yang dianggap paling tepat untuk mengirimkan doa perlindungan. Tidak ada undangan resmi, tidak ada baliho, hanya kabar yang menyebar dari pos ronda ke warung kopi. Namun semua warga tahu kapan harus datang.

Dwi Prasetyo, salah satu warga, tertawa saat menceritakan antusiasme warga. “Setelah doa selesai, langsung lempar-lemparan bubur. Seru pokoknya!”

Bubur Warna-warni, Penuh Simbol

Bubur dalam Barikan tak sekadar media untuk bermain. Ia membawa simbol spiritual yang kuat. Warna merah dimaknai sebagai abang nyimpang, perlambang untuk menjauhkan hal-hal buruk. Hijau melambangkan harapan dan kesuburan. Kuning sebagai simbol kemuliaan dan keselamatan. Dan biru dipercaya membawa ketenangan serta perlindungan.

Seluruh bubur dibuat dari campuran terigu, air, dan pewarna makanan. Rasanya hambar, karena memang tak untuk dinikmati lidah—melainkan untuk “dinikmati” dalam doa dan ritual.

Antara Tawa dan Kesungguhan

Sekitar pukul 3 sore, warga mulai berkumpul. Anak-anak tampak tak sabar, tangan mereka sudah siap mengayunkan bubur. Tapi sebelum itu, semua hening. Doa dipimpin oleh tokoh masyarakat. Tangan-tangan terangkat, doa dalam bahasa Jawa dan Arab mengalir pelan. Tak ada derai tawa, hanya kata “Amiin” yang terucap bersamaan.

Sesaat kemudian, isyarat diberikan. Bubur dilempar. Dan tawa pun pecah.

Perempatan berubah menjadi medan warna. Bubur merah menghantam kaus putih, bubur hijau menyelimuti wajah-wajah kecil yang tertawa riang. Tidak ada kemarahan, tidak ada dendam. Hanya suka cita dan keyakinan bahwa bubur yang mendarat di tubuh membawa berkah.

Tradisi, Identitas, dan Kehangatan Sosial

Bagi orang luar, Barikan mungkin tampak seperti permainan iseng. Tapi di Karangsari, ini adalah ritual sakral. Ia menjadi ruang merawat tradisi, mengenang leluhur, dan menjalin keakraban antarwarga. Di tengah zaman yang bergerak cepat, Barikan menjadi ruang jeda yang menyatukan warga, jauh dari layar ponsel dan hiruk pikuk kota.

Dan setiap tahun, di perempatan kecil itu, warna-warni bubur akan terus beterbangan. Bersama doa-doa yang lirih disisipkan. Bersama harapan agar kampung tetap damai, dan tradisi ini kelak diwariskan pada anak cucu.