Mantan Aktivis Dinilai Khianati Reformasi, Peringatan 27 Tahun Reformasi Diwarnai Kritik Tajam

04 June, 2025

JURNAL PAPAR, SURABAYA — Peringatan 27 tahun Reformasi 1998 di Balai Pemuda Surabaya, Kamis hingga Sabtu (29–31/5/2025), menjadi ajang kritik tajam terhadap para mantan aktivis yang kini justru duduk di lingkar kekuasaan. Acara yang diprakarsai oleh aktivis Dandik Katjasungkana ini diwarnai kekecewaan mendalam atas arah perjuangan reformasi yang dianggap melenceng dari cita-cita awal.

“Banyak dari mereka yang dulu di garis depan melawan rezim militerisme, sekarang malah duduk sebagai anggota dewan, komisaris, hingga wakil menteri. Bahkan mendukung kebijakan yang dulu mereka lawan,” ujar Dandik, Sabtu (31/5/2025).

Menurutnya, hal ini menunjukkan bagaimana gerakan reformasi tidak imun terhadap kooptasi kekuasaan. Dandik menilai, fenomena tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat perubahan yang diperjuangkan oleh rakyat dan para korban pelanggaran HAM di masa lalu.

“Sejarah berulang. Tahun 1966, Soe Hok Gie kecewa karena teman-temannya masuk parlemen tapi melupakan rakyat. Sekarang, 1998 pun mengalami nasib yang sama,” tegasnya.

Seniman teater Slamet Gaprak turut menyuarakan kritik melalui pertunjukan bertajuk Njlungup. Menurutnya, njlungup melambangkan kejatuhan dan ketertundukan masyarakat terhadap sistem yang tetap represif meski rezim telah berganti.

“Kita hanya wayang. Sistem tetap dikendalikan segelintir elit. Bahkan represi makin terasa hari ini,” ungkap Gaprak, anggota Teater Api Indonesia.

Ia juga menyesalkan bahwa perjuangan belum mencapai klimaks yang benar-benar mengubah struktur kekuasaan. Sebaliknya, yang terjadi justru stagnasi dan kemunduran.

“Yang lebih menyakitkan, justru mantan aktivis ikut mengukuhkan sistem yang menindas. Kita jatuh njlungup lagi dan lagi,” ucapnya.

Pertunjukan Njlungup yang dibawakannya didedikasikan untuk mendiang Mas Brewok, seorang aktivis Surabaya yang dikenal vokal melawan kekerasan negara terhadap rakyat sipil.

Dandik menambahkan, peringatan ini juga menjadi ruang mengenang aktivis hilang tahun 1998, termasuk Herman Hendrawan yang lahir pada 29 Mei dan hingga kini tak kunjung ditemukan.

“Kalau masih hidup, ia sudah berusia 55 tahun. Kita tidak boleh lupa,” ujarnya.

Peringatan Reformasi kali ini melibatkan seniman dan aktivis lintas generasi. Bagi Dandik, kolaborasi ini penting untuk menjaga ingatan publik tentang pelanggaran HAM dan ketimpangan ekonomi yang menjadi akar lahirnya Reformasi 1998.

“Seni dan budaya menjadi medium penting untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan kepada generasi muda, terutama di tengah situasi politik yang kembali mengarah pada otoritarianisme,” pungkasnya.