
JURNAL PAPAR, Tuban – Di bagian timur Pasar Layur, tersembunyi sebuah sudut sarapan sederhana yang selalu ramai sejak pagi. Di antara riuh suara pedagang dan langkah kaki pengunjung, sebuah warung kecil milik Bu Ucok berdiri tanpa papan nama mencolok, hanya meja panjang, kompor menyala, dan aroma sambal kacang yang khas.
Bu Ucok, perempuan paruh baya berusia sekitar 70 tahun, sudah berjualan lontong tahu di tempat itu sejak era Presiden Soeharto.
"Jualan di sini dari zaman Pak Harto, dulu enak, apa-apa murah," ujarnya sembari tertawa kecil.
Lontong tahu buatannya tak pernah sepi pembeli. Dengan harga hanya Rp5.000, pembeli sudah bisa menikmati seporsi lontong lengkap dengan tiga potong tahu goreng, siraman sambal kacang yang dibuat langsung saat ada pesanan makan di tempat, dan kecap manis yang bisa ditambah sendiri tanpa biaya.
"Berapa bungkus, Bu?" adalah satu-satunya kalimat yang sering terdengar. Semua serba cepat. Tak perlu memilih lauk atau menunggu lama, pembeli menyebut jumlah, Bu Ucok meracik, dan langsung diserahkan.
Sebelum fokus berjualan lontong tahu, Bu Ucok sempat menjajakan kolak dan aneka jajanan pasar. Namun sejak lebih dari dua dekade terakhir, lontong tahu menjadi satu-satunya jualan yang ia pertahankan. Pembelinya datang dari berbagai kalangan, dari pedagang pasar hingga warga sekitar yang sengaja mampir untuk sarapan
Setiap hari, ia bisa mengolah hingga 20 kilogram lontong. Di dapurnya yang menyatu dengan area berjualan, empat dandang besar terus menyala untuk merebus lontong. Kompor nyaris tak pernah mati.
Sambal kacang dulunya ia uleg manual, tapi sekarang menggunakan blender karena keterbatasan tenaga. “Maklum, umur sudah 70-an,” katanya, sambil tertawa.
“Kalau Laku, Alhamdulillah. Kalau Nggak, Ya Tetap Masak”
Bu Ucok tidak pernah berharap banyak. Ia tetap datang setiap pagi, menyalakan kompor, memanaskan tahu, dan menyapa pelanggan lama. Tidak ada target omzet. Ia hanya ingin tetap berjualan.
“Kalau laku, Alhamdulillah. Kalau nggak, ya tetap masak,” ucapnya sambil tertawa.
Warung Tanpa Nama, Tapi Tak Pernah Sepi
Tidak ada papan nama yang menunjukkan ini warung Bu Ucok. Tapi semua orang tahu, kalau ingin sarapan murah dan cepat di Pasar Layur, datanglah ke timur pasar, cari ibu tua yang menyendok sambal kacang sambil bercanda dengan pembeli.
Tidak perlu promosi di media sosial, tidak perlu sistem pesanan online. Bisnis kecil ini bertahan karena kepercayaan.
Dan di tengah geliat pasar tradisional yang perlahan tergeser toko modern, warung ini seperti menjadi saksi zaman, bahwa usaha kecil dengan rasa, niat, dan konsistensi masih punya tempat di hati masyarakat.
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru














































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.